Senin, 26 November 2012



Cerpen Romantis: Kata Terakhir
oleh: Ghianna Azza


Dina menatap kosong papan tulis di hadapannya. Bukan karena papan tulis itu bersih tapi justru
karena penuh catatan bejibun rumus kalkulus yang dimata Dina lebih mirip hieroglyph. “Waduh,
bisa cepet tua nih aku kalo kayak gini mulu,” gumam Dina.
“Perasaan tiap hari kamu ngomong gitu terus
deh..”
Dina menoleh pada cowok di sampingnya.
“Oh ya? Masa sih?”
“Yaelaah... “ tukas Ravi sambil geleng-geleng
kepala. Takjub.
“Pak Darman tuh hobi banget sih nyiksa
orang pake rumus-rumus gitu? Tiap hari lagi !
Kayaknya tuh orang ngerasa nggak afdol kali
ya kalo belum mamerin spesies rumusrumus di kelas,” lanjut Dina menggerutu.
“Alaa.. masi mendingan juga kalian-kalian ini yang notabene cewek. Bapak itu kan rada jelatatan,
pilih kasih kalo sama cewek. Liat ada yang ‘bagus’ dikit aja pasti langsung di uber deh..”
Dina mengernyitkan dahinya. Heran. “Tahu darimana kamu, Rav ?”
“Hahahaa.. topik basi, tahu ! Kadang juga aku heran lho. Cakep juga enggak. Tajir? Lumayanlah..
Kulitnya juga sawo matang, nggak putih. Kalo urusan keren.. Apalagi. Nggak banget deh. Tapi kok
bapak itu pede bener yah terang-terangan menganak-emaskan cewek-cewek. Dasar hidung
belang. Apalagi sama si Nabila. Nilai-nilai kalkulus Nabila juga bagus-bagus lho katanya,” seloroh
Ravi tanpa dosa.
“Heh ! Kurang ajar sama orang tua, kualat lho ntar.. terus apa tadi ? Sawo matang? Udah bukan
sawo matang lagi kali, tapi kayak biji sawo! ”
“Sekarang siapa yang kurang ajar?” balas Ravi. Dina hanya menimpali dengan senyum masam,
apalagi setelah nama Nabila disebut-sebut. Langsung menyeret tingkat moody-nya pada level
yang paling dasar. Hatinya sakit saat mendengar nama itu di sebut. Betapa tidak ? Dina harus
mengenyahkan kenyataan bahwa hubungan asmaranya dengan Ardi yang umurnya udah hampir
3 taun harus putus karena Ardi nyeleweng. Dan cewek yang berstatus sebagai orang ketiga itu..
Nabila. Yah, siapa lagi. Cantik, langsing, putih, rambut panjang, tajir ! Wow, bener-bener tipekal
yang perfect abis buat sebagian cowok. Apalagi cowok macem Ardi yang tabiatnya emang suka
pamer. Sayang Nabila otaknya kosong. Dina inget pas mereka baru jadian (di hari yang sama
saat Dina-Ardi putus), Ardi lewat di depannya sambil memberikan ekspresi ‘kamu-nggak-adaapa-apanya-dibandingin-Nabila’ melenggang santai sambil membiarkan si cewek plastik itu
bergelayut manja di salah satu lengannya. Oh-oh.. Cewek plastik? Ya, tentunya Dina punya
alasan kenapa panggilan itu lebih pas. Demi menunjang penampilan yang ngebuat cowok nggak
berkedip, Nabila rela tubuhnya mendapat suntikan di bagian sana sini. Rupiah jelas bukan
masalah buat dia.
“Ngapain kalian berdua masih di sini? Bukannya kuliah Pak Darman udah kelar dari tadi?”
Deg ! Dina hapal betul suara siapa itu. Ardi. Panjang umur nih cowok, baru juga di batin. “Lagi
nyatet aja. Lo bisa lihat sendiri kan? Itu juga kalo lo punya mata,” jawab Ravi dingin. Ravi satusatunya sahabat cowok Dina yang paling ‘ngerti’ apa dan bagaimana seorang Arindina. Dia
bahkan nyaris nonjok Ardi pas Dina cerita mereka putus karena si cewek plastik.
Sadar pertanyaannya disambut dengan tajam sama Ravi, Ardi malah cuek duduk di depan Dina
dan sambil tersenyum (yang pastinya dibuat-buat) dia bilang, “ Hai Din. Lama ya nggak ngobrol.
Apa kabar ? ”
Gimana cara menjawab pertanyaan sederhana tadi ya? Kalo itu datang pada saat yang biasa,
dari orang yang biasa saja dan dalam situasi yang biasa juga, mungkin jawabannya juga pasti
bakal biasa aja. Well, pastinya Dina nggak bisa bilang,” Baik, thanks.” Sementara sebenernya
pengen banget jawab, “Nggak ada urusannya sama kamu, cowok brengsek !!” Tapi tentu bagi
jenis cewek baik-baik macam dia, memalukan kalo tata kramanya harus hancur cuma gara-gara
hal sepele. Nggak level dong. Akhirnya dia jawab,”Kayak yang kamu lihat,” dengan ekspresi
sebeku es di Antartika. Dingin.
Ini emang bukan kali pertama Ardi nyamperin Dina pasca insiden putusnya dua sejoli itu.
Seenggaknya dalam sebulan terakhir ini, rutinitas Ardi nyamperin Dina makin sering. Hampir lebih
sering dari jadwal orang minum obat. Meski Dina cuek, tapi reaksi Ravi berbeda. Ravi terkesan
lebih agresif pada momen-momen tertentu saat mereka bertiga ada dalam lingkup dimensi yang
sama. Cowok maskulin itu jelas-jelas memposisikan dirinya sebagai tameng bagi Dina. Ardi tahu
betul benih cinta buat Dina sudah tertanam lama di hati Ravi. Benih itu mulai tumbuh seiring
retaknya jalinan kasih Dina-Ardi. Sayangnya, mata Dina terlalu rabun buat melihat binar-binar
ketulusan di mata Ravi. Dina juga nggak peka menangkap pendar-pendar cinta di setiap tatapan
Ravi. Lubang di hati Dina masih terlalu sakit hingga membutakan nalurinya.
“Kamu masih sayang sama dia, Din ?” tanya Ravi lirih setelah Ardi hengkang dari sana.
“Enggak sama sekali..” jawab Dina perlahan. Ada keraguan yang sarat di sana. Tentu saja
enggak mungkin dia langsung bisa ngelupain Ardi, cinta pertamanya itu begitu saja. Sosok Ardi
masih menjadi batu sandungan baginya. Bahkan kapanpun Dina merasa semangat hidupnya
melemah, dia cukup mengeluarkan foto Ardi (yang masih sengaja disimpannya) kemudian
melakukan sayatan-sayatan di foto itu dengan silet sambil meracau sumpah serapah atau
bahkan kutukan dan dijamin semangat Dina bakal langsung melejit seenggaknya 100 persen.
“Aku.. “ ucap Ravi ragu-ragu. Dina bingung melihat mimik wajah Ravi yang kontan berubah pucat.
“Kenapa, Rav ?” tanya Dina khawatir.
“Aku.. Aku suka kamu, Din.”
Hening.
“Aku nggak tahu sejak kapan, tapi aku sayang kamu, Din. Sekarang. Mudah-mudahan sih sampe
nanti-nanti..” Pengakuan polos Ravi kontan membuat Dina dag-dig-dug-der. Andai tubuhnya itu
komputer mungkin langsung shut down saat itu juga. Dina merasa ini sesuatu yang salah.
Bukankah mereka bersahabat ? Bukankah Ravi tahu Dina baru putus dari Ardi 5 bulan lalu
setelah 3 tahun jalinan kasih mereka ?
Dunia selalu bergulir dengan cara yang aneh. Susah ditebak. Memang takdir atau hanya
kebetulan semata, siapa yang tahu? Siapa yang berani menebak? Barangkali hal yang kita
anggap sepele sekalipun di masa depan nantinya akan memberikan dampak yang luar biasa.
Teorinya, memang begitu. Nggak ada yang dapat benar-benar di salahkan. Lantas, apa perasaan
Ravi itu salah ? Kalo itu salah kenapa Dina merasa bahwa perasaan yang salah itu adalah hal
yang benar ? Berbagai pikiran ayik singgah di kepala Dina. Bermain kejar-kejaran membuyarkan
logikanya dan seakan mereka berkata mengejek ,” Apa hati kamu udah bener-bener buta,
Arindina ? Ternyata bukan hanya jatuh cinta tapi patah hati juga bisa membuat seseorang
menjadi buta dan tuli di saat yang bersamaan sekaligus !”
“Kalo kamu nggak mau ngomong apa-apa.. nggak masalah kok,” tukas Ravi sambil tersenyum.
Senyuman memabukkan yang kalo di pamerin ke cewek lain (selain Dina yang udah terbiasa
dapet senyum kayak gitu) pasti bakal bikin cewek-cewek pada ber-ahh dan ber-ohh saking
manisnya. “Dina, aku balik duluan ya. Ada perlu ke toko buku,” lanjut Ravi gugup sambil beranjak
dari sisi Dina.
Dina beranjak dari kelas dengan ogah-ogahan. “Dinaa..” panggil Ardi saat Dina melintas di
koridor. “Kenapa lagi ?” balasnya jutek. “Aku mau ngomong bentar. Bisa kan, Din ?” sambung
Ardi gelagapan.
“Ya udah buruan ngomong.”
“Ehm.. ngomong di tempat lain aja ya. Gimana kalo di cafe kita yang biasanya aja?”
“Ngomong sekarang atau nggak usah sekalian !” tegas Dina galak. Dengan raut terpaksa, Ardi
akhirnya bilang tentang keinginannya buat balikan sama Dina. Nggak ketinggalan sekilas info
mengenai tingkah laku dan perlakuan Nabila ke Ardi yang lebih mirip tuan putri pada
pembokatnya.
* * *
Dina melangkah pelan (mungkin lebih tepatnya merayap saking leletnya) menuju jalan raya di
depan kampus. Pikirannya kacau apalagi setelah pengakuan Ardi barusan. Dina nggak sadar
sebuah Honda Jazz melaju dengan kecepatan cahaya menuju ke arahnya. Pada detik yang
sama, sepasang lengan kekar meraup tubuhnya dan dengan sekali hentakan melentingkan tubuh
Dina ke tepi. Seperti kilat, segala sesuatunya terjadi begitu cepat. Jalanan langsung ramai.
Semua orang tumpah ruah disana bak lautan manuia. Penasaran, Dina pun mendekat berusaha
menyeruak diantara lautan manusia dadakan itu sambil menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya.
Serasa di hantam batu seberat 1 ton, Dina menatap tubuh terkapar di hadapannya. Ravi. Darah
segar mengucur dari pelipis kirinya. Ingin rasanya menjerit tapi kerongkongannya tercekat. Dina
hanya mampu terpaku, membatu di tepi jalan sampai sebuah ambulans mengangkut tubuh Ravi.
Ravi, sahabat terbaiknya itu kini terbaring lemah di ICU. Cowok yang beberapa saat lalu baru saja
menyatakan perasaannya pada Dina itu kini tengah meregang nyawa karenanya. Dina terluka.
Bukan fisik, tapi batin. Harapan itu memang masih ada. Harapan untuk dapat memupuk kembali
bunga cintanya bersama Ardi yang dulu sempat layu. Jauh di dalam hatinya nama Ardi memang
masih terukir manis. Meski nggak lagi semanis dulu. Tapi biar bagaimanapun Ardi adalah cinta
pertamanya. Dan kayaknya 5 bulan itu waktu yang nggak cukup buat sekadar mengenyahkan
bayang-bayang Ardi yang emang udah nongkrong tahunan di hatinya. Di saat yang sama, lubang

di hati Dina menganga kembali, menghadirkan atmosfer pilu yang menyayat perih hatinya.
lubang yang selama 5 bulan terakhir ini menguras air mata nya...

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar